Jumat, 27 Oktober 2017

MORALISME (1)


Keabsolutan dan Kerelatifan Moral dalam Membangun paham Humanisme
Studi Komparasi Moralisme
(sumber gambar: http://www.thebluediamondgallery.com)

Oleh: Syarifah Nadhirotul Yaqin Yahya*

Filsafat Moral
Masalah mengenai moral, merupakan hal yang kontroversial. Begitupun pembahasan mengenai makna moral itu sendiri. Filsafat moral/etika, seperti yang dikatakan oleh sokrates, yakni “bagaimana seharusnya kita hidup”, dan mengapa demikian. Oleh karena itu, pembahasan mengenai makna moral disini sebaiknya dimulai dengan definisi yang tidak kontroversial, melainkan sesuatu yang dapat kita terima sebagai makna moral pada umumnya. Jika dilihat dari asal katanya, “moral” bersumber dari bahasa latin yaitu “mores” yang berarti “aturan kesusilaan” yakni aturan-aturan hidup yang baik. Menurut Magnis-Susino, moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.


Filsafat moral/Etika, tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Segala hal yang menuntut aktifitas manusia, baik itu individual maupun sosial, perlu akan aturan yang membimbing manusia agar melakukan hal yang benar. Tidak dapat kita bayangkan suatu dunia yang penuh akan segala tindakan tanpa adanya pijakan pada nilai moral, yang bersumber dari hati nurani manusia itu sendiri. Akan terjadi kebingungan di antara manusia mengenai sesuatu yang benar dan sesuatu yang salah, yang baik dan yang buruk, dan konsekuensinya yakni terciptanya dunia yang kacau dan lupanya manusia akan hati nuraninya.
Bermoral, berarti berperikemanusiaan. Dimana seseorang menghidupkan potensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada dirinya, dan menjadikannya aktual sehingga ia menjadi manusia yang sesungguhnya. Makna moral tidak terpisah dari pencitraan manusia. Jika dikatakan manusia, maka nilai-nilai moral sudah pasti ada dalam dirinya. Dan tidak dikatakan manusia, yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, moral disini memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kesadaran manusia untuk mengetahui hakikat akan dirinya. 

Humanisme
Persoalan tentang humanisme dalam kaitannya dengan moral, antara lain:
Yang Pertama, humanisme, baik sebagai gerakan ilmu-ilmu humaniora maupun sebagai aliran filsafat, di Barat (Kristen) maupun di Timur (Islam), tumbuh dan berkembang dalam dialektika kehidupan manusia yang diwarnai kecenderungan menafikan sesama. Hak-hak mendasar manusia dalam sejarah sosial- kebudayaannya terbukti berulangkali tergilas oleh kepentingan teologi yang abstrak, ideologi yang eksklusif, feodalisme yang massif, serta minimnya empati terhadap golongan yang lemah. Atas dasar “krisis visi kemanusiaan” inilah humanisme mengada (secara induktif) untuk menyelamatkan manusia melalui “gerakan kesadaran” akan tingginya harkat dan martabat manusia. Kedua, setelah humanisme terbangun dalam sebuah wujud konsepsi, humanisme perlu dipribumisasikan ke dalam kehidupan riil kemanusiaan. Mengingat ontologi humanisme adalah kesadaran akan kemuliaan manusia, dan epistemologinya mengacu pada seluruh potensi dan tabiat kemanusiaan manusia, maka aksiologi humanisme dapat direalisasikan dengan mengunggulkan kesadaran, potensi, serta tabiat kemanusiaan itu sendiri. Hal tersebut, tentu saja harus berlandaskan dengan nilai-nilai dasar yang akan menunjukkan manusia pada tingkat kesadarannya. Manusia, adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk lain, karena ia mempunyai berbagai potensi yang tidak dimiliki makhluk lain. Potensi itu akan mengarahkan manusia pada tahap mencapai hakikatnya sebagai manusia. Namun, potensi tersebut juga tidak akan mengalami kemantapan dalam diri manusia, jika ia tidak dikuatkan oleh nilai-nilai serta prinsip dasar. Oleh karena itu, pembahasan mengenai humanisme, erat hubungannya dengan pembahasan mengenai kaidah moral pada manusia.
Dalam ketentuannya, masalah moral menjadi hal yang tidak pasti dalam kehidupan manusia. Walaupun memang sudah jelas manusia memahami apa yang dianggap baik, dan mana yang dianggap buruk. Akan tetapi, dalam segala kondisi, belum lagi berbagai manusia yang beraneka ragam, terkadang membuat suatu nilai berbeda dengan yang lainnya. Dan hal ini memang lumrah terjadi, karena pola hidup suatu masyarakat tentu saja berbeda dengan masyarakat lainnya. Apalagi di era modern pada zaman ini, kita dapat lihat bagaimana hukum/aturan berada dalam hubungannya membimbing manusia. Ada yang mengatakan bahwa hukum tersebut haruslah hukum yang pasti, karena ia adalah aturan. Di lain sisi, ada juga yang lebih melihat fakta bahwa kaidah/aturan tersebut memanglah bersifat kondisional dan konvensional, sehingga mereka meyakini kerelatifan moral.

* Mahasiswi jurusan Filsafat Islam di STFI SADRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar