Keabsolutan dan Kerelatifan Moral dalam Membangun paham Humanisme
Studi Komparasi Moralisme
Oleh: Syarifah Nadhirotul Yaqin Yahya*
Filsafat Moral
Masalah mengenai moral, merupakan hal yang kontroversial. Begitupun
pembahasan mengenai makna moral itu sendiri. Filsafat moral/etika, seperti yang
dikatakan oleh sokrates, yakni “bagaimana seharusnya kita hidup”, dan mengapa
demikian. Oleh karena itu, pembahasan mengenai makna moral disini sebaiknya
dimulai dengan definisi yang tidak kontroversial, melainkan sesuatu yang dapat
kita terima sebagai makna moral pada umumnya. Jika dilihat dari asal katanya,
“moral” bersumber dari bahasa latin yaitu “mores” yang berarti “aturan kesusilaan”
yakni aturan-aturan hidup yang baik. Menurut Magnis-Susino, moral selalu
mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Filsafat moral/Etika, tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
manusia. Segala hal yang menuntut aktifitas manusia, baik itu individual maupun
sosial, perlu akan aturan yang membimbing manusia agar melakukan hal yang
benar. Tidak dapat kita bayangkan suatu dunia yang penuh akan segala tindakan
tanpa adanya pijakan pada nilai moral, yang bersumber dari hati nurani manusia
itu sendiri. Akan terjadi kebingungan di antara manusia mengenai sesuatu yang
benar dan sesuatu yang salah, yang baik dan yang buruk, dan konsekuensinya
yakni terciptanya dunia yang kacau dan lupanya manusia akan hati nuraninya.
Bermoral, berarti berperikemanusiaan. Dimana seseorang menghidupkan
potensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada dirinya, dan menjadikannya aktual
sehingga ia menjadi manusia yang sesungguhnya. Makna moral tidak terpisah dari
pencitraan manusia. Jika dikatakan manusia, maka nilai-nilai moral sudah pasti
ada dalam dirinya. Dan tidak dikatakan manusia, yang tidak mencerminkan
nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, moral disini memiliki peran yang
sangat penting dalam membangun kesadaran manusia untuk mengetahui hakikat akan
dirinya.
Humanisme
Persoalan tentang humanisme dalam kaitannya dengan moral, antara lain:
Yang Pertama, humanisme, baik sebagai gerakan ilmu-ilmu
humaniora maupun sebagai aliran filsafat, di Barat (Kristen) maupun di Timur
(Islam), tumbuh dan berkembang dalam dialektika kehidupan manusia yang diwarnai
kecenderungan menafikan sesama. Hak-hak mendasar manusia dalam sejarah sosial-
kebudayaannya terbukti berulangkali tergilas oleh kepentingan teologi yang
abstrak, ideologi yang eksklusif, feodalisme yang massif, serta minimnya empati
terhadap golongan yang lemah. Atas dasar “krisis visi kemanusiaan” inilah
humanisme mengada (secara induktif) untuk menyelamatkan manusia melalui
“gerakan kesadaran” akan tingginya harkat dan martabat manusia. Kedua,
setelah humanisme terbangun dalam sebuah wujud konsepsi, humanisme perlu
dipribumisasikan ke dalam kehidupan riil kemanusiaan. Mengingat ontologi
humanisme adalah kesadaran akan kemuliaan manusia, dan epistemologinya mengacu
pada seluruh potensi dan tabiat kemanusiaan manusia, maka aksiologi humanisme
dapat direalisasikan dengan mengunggulkan kesadaran, potensi, serta tabiat
kemanusiaan itu sendiri. Hal tersebut, tentu saja harus berlandaskan dengan
nilai-nilai dasar yang akan menunjukkan manusia pada tingkat kesadarannya.
Manusia, adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di antara
makhluk-makhluk lain, karena ia mempunyai berbagai potensi yang tidak dimiliki
makhluk lain. Potensi itu akan mengarahkan manusia pada tahap mencapai
hakikatnya sebagai manusia. Namun, potensi tersebut juga tidak akan mengalami
kemantapan dalam diri manusia, jika ia tidak dikuatkan oleh nilai-nilai serta
prinsip dasar. Oleh karena itu, pembahasan mengenai humanisme, erat hubungannya
dengan pembahasan mengenai kaidah moral pada manusia.
Dalam ketentuannya, masalah
moral menjadi hal yang tidak pasti dalam kehidupan manusia. Walaupun memang
sudah jelas manusia memahami apa yang dianggap baik, dan mana yang dianggap
buruk. Akan tetapi, dalam segala kondisi, belum lagi berbagai manusia yang
beraneka ragam, terkadang membuat suatu nilai berbeda dengan yang lainnya. Dan
hal ini memang lumrah terjadi, karena pola hidup suatu masyarakat tentu saja berbeda
dengan masyarakat lainnya. Apalagi di era modern pada zaman ini, kita dapat
lihat bagaimana hukum/aturan berada dalam hubungannya membimbing manusia. Ada
yang mengatakan bahwa hukum tersebut haruslah hukum yang pasti, karena ia
adalah aturan. Di lain sisi, ada juga yang lebih melihat fakta bahwa
kaidah/aturan tersebut memanglah bersifat kondisional dan konvensional,
sehingga mereka meyakini kerelatifan moral.
* Mahasiswi jurusan Filsafat Islam di STFI SADRA
* Mahasiswi jurusan Filsafat Islam di STFI SADRA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar