Jumat, 20 Oktober 2017

KAGUM TANDA TAK MAMPU


(Sumber Gambar :ajefathoni.com)

Oleh : Safina Zahra Alaydrus

Sejauh yang saya amati, kebanyakan orang itu cuma bisa kagum sama yang lain, dan ujung-ujungnya merendahkan diri sendiri, atau merasa cukup akan potensi diri yang 'nothing special'. Kagum tanda tak mampu. Saya pernah dengar kalimat itu. Dan itu benar. Itu yang dialami kebanyakan manusia di Indonesia---mungkin juga di negara lain, kutaktahuu.

Loh, bukannya sirik, ya? Sirik tanda tak mampu. Kenapa kagum? Kagum, kan, baik. Artinya, kita mengapresiasi kehebatan orang dengan kita kagum pada mereka. Gimana, sih!

Iya, mbak, iya, selow. Coba perhatikan.


Sirik = nggak mau mengapresiasi kehebatan orang, karena kita nggak mampu jadi seperti mereka, dan kita sangat benci mengakui kalau mereka hebat.

Kagum = sangat mengapresiasi kehebatan seseorang, lantas, menciutkan diri sendiri bahwa kita nggak mampu kayak dia, dia terlalu hebat, bisa sukses gitu, terlalu perfect hidupnya, aku mah apa atuh.

So, saya melihat persamaan dari keduanya. Sama-sama kalian merasa nggak mampu menjadi mereka yang 'awesome'. Beda aksinya saja.

Sebenarnya, permasalahan ada di diri kamu sendiri. Sirik sudah pasti buruk. Kagum? Sangat-sangat tidak buruk untuk mengagumi seseorang. Tapi, coba pikirkan bagaimana efek kagum tersebut terhadap diri kamu. Oh, bukan. Yang benar : bagaimana kamu menyikapi kekaguman tersebut, sehingga menghasilkan efek yang baik bagimu. ~yuhu, syalalalala

Ketika kamu mengagumi orang yang kritis dalam berpikir, aktif dalam segala bidang, sering pergi keluar negri gratis karena job, dsb. Apa tanggapan kamu? Sebatas kagum, lalu, kamu bilang : 'Gila! Tu orang masih muda pemikirannya kritis banget. Pasti banyak pengalaman, tuh.', 'Keren ya. Dia pinter banget, sih. Jadi banyak job keluar negri, gratis pula. Aku mah apa otak pas-pas gini ngarepin keluar negri gratis' , 'Wah, dia mah berani orangnya. Nggak heran kalo dia aktif dimana-mana. Public speakingnya bagus pula. Nggak kayak aku, ngomong depan temen sekelas aja grogi. Huhu'. Duh, yang kayak gini, nih, harus dibasmi.

Sepanjang yang saya amati---gampangnya, saya amati di komentar sosmed selebgram, dan contoh di atas bukanlah komentar asli yang saya ambil, hanya kurang lebih seperti itu---mereka menyikapi rasa kagumnya dengan merendahkan diri sendiri (merendahkan diri beda dengan rendah diri atau rendah hati, loh, ya!) Itu yang membuat kalimat kagum-itu-tanda-tak-mampu menjadi dibenarkan.

Belajarlah mengambil sisi positif dari kehebatan orang lain. Kagum, seharusnya membuat kita bangkit dari ketidakberdayaan. Kagum, seharusnya menjadi motivasi kita dalam memperbaiki kualitas hidup. Kagum, seharusnya membuat kita berpikir bahwa ada orang yang bisa sehebat itu, lalu, kenapa kita nggak bisa?

Bukan. Bukan berarti kita harus seperti mereka. Kita harus menjadi orang lain supaya kita bisa sukses. Nggak. Kita bisa ikuti jejaknya, ikuti semangatnya, ikuti pola pikirnya, tanpa harus mengikuti pribadinya dan membunuh pribadimu sendiri. Selama pribadimu masih baik, tak ada salahnya tetap menjadi diri sendiri.

Saya pernah mendengar kalimat, kurang lebih seperti ini : coba sesekali lihatlah latar belakang seseorang menuju kesuksesan, jangan lihat orang ketika sudah sukses. (Ngerti, kan, maksudnya?)

Makannya, ketika kita melihat orang saat hebatnya saja, kita bakal terus merendahkan diri sendiri. Merasa nggak mampu, merasa ciut. Padahal, mereka berjuang susah-payah demi kesuksesan tersebut. Mereka dulu mungkin seperti kita yang nggak bisa apa-apa, dan kita tak pernah melirik itu. Kita selalu melihat hasil, tanpa peduli usahanya. Kita selalu melihat hebatnya dia sekarang jadi artis sukses, tanpa pengen tahu bagaimana dia bisa jadi artis sukses. Segala sesuatu di dunia nggak ada yang datang tiba-tiba, bro, sist. Nggak ada yang instan. Sekalipun ada, mungkin tak diberi jalan yang mulus-mulus amat.

Tuhan tahu akan potensi semua hamba-Nya, bung. Tuhan tahu, ada manusia yang perlu menyecap kepedihan untuk bangkit. Ada manusia yang jangan sampai menyecap nikmat dunia, karena dia akan lupa pada-Nya. Ada manusia yang selalu menyecap kesuksesan, karena mereka tetap rendah hati dan mudah bersedekah. Jadi, kamu usaha saja Tuhan pasti apresiasi. Untuk hasilnya seperti apa, kamu cukup berpikir positif pada-Nya. Dia Maha Pembuat Rencana Terindah, kok.

Begitulah manusia. Begitulah kita yang masih dijajah sama rasa kagum yang tak berakibat baik. Jadi, ubah cara menyikapi rasa kagum kita dimulai dari hitungan ketiga.

Satu...

Dua...

Tigaa...

*********************************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar